Era Horisontal dalam Pilkada


Pemillihan kepala daerah serentak di beberapa tempat akan dimulai beberapa bulan lagi. Daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tersebut terdiri atas tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Meski saat ini belum resmi untuk melakukan kampanye, banyak calon, sadar atau tidak sadar sudah mulai menebarkan pesonanya ke segala penjuru daerah pemilihannya. Yang tidak kalah heboh adalah aktivitias di media sosial dan jagad internet. Konten-konten yang memasarkan pasangan calon sudah banyak bertebaran, dari konten bernada positif maupun negatif. 
Pemilihan kepala daerah tersebut menimbulkan pertanyaan, sebenarnya calon seperti apa yang diinginkan oleh pemilih nanti? Bagaimana seharusnya pendekatan dari para calon untuk memenangkan hati pemilihnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut yang pertama-tama perlu dilihat adalah seperti apa kondisi lanskap ‘pasar’ yang akan dituju. Penulis akan mencoba melihat dari kaca mata marketing atau pemasaran.

Di dalam lanskap bisnis, mungkin dapat dikatakan juga lanskap sosial, seperti sekarang, sudah mulai terjadi pergeseran relasi. Misalnya saja relasi antara produsen dan konsumen, seorang CEO dengan karyawan, klien dengan vendor, semuanya sudah berubah. Jika dulu relasi seperti yang dicontohkan di atas berlangsung vertikal, sekarang sudah berubah menjadi horisontal. Artinya, yang dulu selalu berada pada posisi ‘atas’ dan dapat secara otoritatif mendikte harga, pasar yang dituju atau peraturan di organisasinya, kini tidak lagi demikian. Semuanya menjadi sejajar. Produsen tidak dapat sesukanya menentukan produk beserta harga dari produk tersebut, bagaimana segmentasi pasarnya, atau siapa menjadi target. Karena sekarang konsumen lebih berperan dan memiliki ‘kuasa’ dalam menentukan sesuatu itu layak dibeli atau tidak, bahkan penting untuk dibicarakan atau tidak. Misalnya percakapan dalam komunitas di media sosial begitu menentukan tren atau apa yang sedang dibicarakan dalam masyarakat, termasuk suatu produk atau merek.
Dari penjelasan tentang lanskap horisontal tadi, artinya posisi produsen dan konsumen sudah makin sejajar. Konsumen akan lebih memilih produk atau layanan yang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dan memiliki spirit yang sama. Konsumen dapat menjadi produsen dengan mengampanyekan produk, merek atau apa pun yang menurut mereka membuat hidup lebih baik. Begitu pun dengan produsen dapat menjadi konsumen dalam arti dengan selalu mengonsumsi masukan atau kritik dari konsumen untuk menghasilkan produk atau layanan yang makin prima dan terpenting, sesuai dengan kebutuhan konsumen. Sehingga perbedaan antara produsen dan konsumen akan sangat tipis sekali dan pemisahan antara keduanya menjadi semakin tidak relevan. Konsumen mencari produk atau merek yang adalah bagian dari mereka. Bukan yang merayu konsumen, bahkan cenderung memaksa dengan berbagai cara promosi, untuk membeli produk tersebut.

Melihat lanskap horisontal seperti yang dijelaskan di atas, mari kembali kepada aktivitas pemilihan kepala daerah. Lanskap tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pijakan bagi para tim sukses untuk membuat strategi pemenangan pasangannya. Caranya yang pertama dan paling utama tentunya adalah mengubah paradigma dari vertikal menjadi horisontal. Paradigma kepala daerah adalah ‘vertikal’, di posisi atas, berjarak dan jauh dari rakyatnya jelas harus segera dikubur dalam-dalam  karena tak akan mungkin laku dijual. Kepala daerah yang masih memosisikan dirinya sebagai ‘atasan’ dari wilayah tersebut akan mengecilkan peluangnya untuk memenangkan pemilihan. Itu nantinya akan nyata terlihat dari cara masing-masing pasangan berkampanye, baik pada saat bicara tentang program maupun retorika-retorikanya di media.
Kemudian juga dengan kampanye yang terlalu mengumbar janji tidak akan memenangkan hati pemilih. Karena lanskap yang horisontal ini, akan sangat mudah dirasakan apakah pasangan tersebut jujur dan sepenuh hati dalam ucapannya atau hanya umbar janji. Era horisontal ini adalah era kejujuran, apa adanya, bukan rekayasa.

Era horisontal juga adalah era kolaborasi. Perlu adanya kerjasama antar beberapa pihak untuk menghasilkan suatu produk. Misalnya saja dalam merancang program-program kerja harus memperhatikan hubungan horisontal yang kolaboratif. Program-program yang mengaku pro rakyat tapi dibuat tanpa bermusyawarah atau berkolaborasi dengan rakyat akan menutup kepercayaan rakyat nantinya secara perlahan tapi pasti.

Di era horisontal, konsumen, dalam hal ini warga dengan hak pilih, akan mencari pasangan yang one of them, atau yang dirasa bagian dari mereka. Artinya, pasangan calon harus benar-benar mengerti kebutuhan dari konsumen atau dalam hal ini adalah warga. Mengerti di sini tidak hanya melihat langsung tapi juga mau mendengar dan pada akhirnya menghasilkan ‘produk’ yang dapat membuat hidup warga menjadi lebih baik.

Tentunya, marketing atau pemasaran tidak hanya berhenti pada produk yang down to earth dan dekat dengan konsumen tapi masih banyak hal perlu diperhatikan. Dimulai dari penentuan segmentasi hingga nilai merek (brand value) dari pasangan yang perlu segera ditentukan oleh para tim sukses dalam merancang kampanye pemenangan. Yang perlu dingat sekarang adalah zaman sudah berubah, sehingga pendekatan terhadap strategi pemenangan juga wajib berubah. Selamat bertarung dan adu strategi yang sehat karena dengan kampanye positif akan memenangkan hati calon pemilih sebagai ‘konsumen’.

Leave a Comment